Kamis, 27 Oktober 2011

Menemui Allah

“Hai manusia, sesungguhnya engkau harus berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menemui Tuhan-mu, sampai engkau bertemu dengan-Nya” (QS Al Insyqaq 84 : 6)
Berjumpa dengan Tuhan adalah dambaan setiap manusia dan itu merupakan impian tertinggi yang selalu dicita-citakan oleh semua orang. Ketika berbicara tentang “Berjumpa dengan Tuhan” maka yang terbayang pada semua orang adalah Kematian, Setelah manusia meninggal dunia (nafas berhenti) barulah ada peluang berjumpa dengan Tuhannya. Berjumpa dengan Tuhan setelah kematian itu sifatnya spekulatif, (bisa ya bisa juga tidak) lalu bagaimana kalau setelah meninggal kita tidak pernah berjumpa dengan Tuhan?
Kenikmatan tertinggi bagi penduduk Surga adalah melihat wajah Tuhan, artinya ada kemungkinan orang yang di surga tidak bisa melihat Tuhan, tentu saja mustahil bagi orang yang tidak masuk surga bisa berjumpa dengan Allah.
Andai nanti kita tidak berjumpa dengan Tuhan di akhirat, lalu mau kemana kita? Mau balik ke dunia???
Ayat di atas memberikan gambaran kepada kita bahwa proses perjumpaan dengan Tuhan itu berlangsung di dunia dan proses situ harus kita selesaikan di dunia ini juga sehingga di akhirat kita tidak lagi mengalami kesulitan menemui Allah. Yang diperlukan adalah kesungguhan kita untuk semaksimal mungkin berusaha menemui-Nya.
“Apabila hamba-Ku ingin menemui-Ku, Akupun ingin menemui-nya dan bila ia enggan menemui-Ku, Akupun enggan menemui-nya” (HR Bukhari dari Abu Hurairah)
Firman Allah dalam hadist qudsi di atas memberi gambaran kepada kita bahwa Allah ingin sekali ditemui namun terkadang hamba-Nya yang lalai dengan kesibukannya sendiri.
Menemui Allah, ya berjumpa dan memandang wajah-Nya itulah kenikmatan yang paling tinggi yang dirasakan oleh para pecinta-Nya.
Kalau di dalam shalat anda tidak merasakan kehadiran-Nya berarti anda belum berjumpa dengan-Nya, maka anda harus belajar lagi sampai anda bermakrifat kepada-Nya.
Saya menutup tulisan singkat ini dengan mengutip dialog antara saya dengan seseorang 7 tahun lalu tentang berjumpa dengan Allah. Suatu hari saya bertanya kepada seorang yang baru menekuni Tarekat (baru 3 hari),
“Andai anda berjumpa dengan Allah, apa yang akan anda sampaikan kepada Allah?”
Dia sepertinya terkejut dengan pertanyaan saya yang tiba-tiba dan pertanyaan tersebut belum pernah ditanyakan se umur hidupnya, dia diam tidak bisa menjawab apa2. Kemudian saya membantu dia dengan pertanyaan berikut :
“Kalau anda selesai shalat apa doa anda kepada Allah?”
Dia jawab dengan cepat, “bla bla bla…”
Dengan senyum dan dengan suara pelan saya katakan pada dia, “Berarti selama ini dalam shalat anda tidak pernah berjumpa dengan Allah?”. Dia menganguk dengan malu.
Syukur Alhamdulillah berkat Syafaat Rasulullah dan bimbingan Guru Mursyid, sahabat saya tersebut akhirnya benar-benar mengenal Allah dengan sebenar kenal dan selalu merasakan perjumpaan dengan Allah.
Mudah-mudahan tulisan ini memberikan gairah kepada para pencari dan membangkitkan rindu kepada para pecinta-Nya, salam

Jawaban Atas Akidah Sufi Tentang Allah

Mereka menuding akidah Sufi berbeda dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan menuding lebih jauh, kalau Akidah sufi kolaboratif dengan pandangan Filsafat Ilmuniasi Yunani, Majusi Persia, Hinduisme dan Nasrani.
Tentu tudingan bahwa sumber Tasawuf adalah singkretisme ajaran agama-agama dan filsafat Yunani adalah kekeliruan besar. Bahwa dalam dunia tasawuf ada hikmah-hikmah agung dan mengandung filsafat kehidupan yang luhur, sesungguhnya tidak bias dihubungkan-hubungkan dengan tradisi filsafat tersebut secara menyeluruh.
Seperti tradisi musyawarah yang sudah ada di zaman Jahiliyah. Maka ketika tradisi Syura itu di absahkan oleh Islam, sama sekali tidak bias dituduh bahwa tradisi Musayawarah dalam Islam itu bersumber dari zaman Jahiliyah.
Kalau Nabi Muhammad saw, melakukan tradisi khalwat, tahannuf atau tahannut di gua Hira, sementara kaum Jahiliyin, juga melakukan hal yang sama di tempat terpisah dalam rangka menyucikan dirinya, apakah metode yang ditempuh Rasulullah dalam gua hira itu ditentang oleh ummat Islam bahkan oleh Rasul sendiri?
Apalagi untuk menggali akidah Islam yang hakiki, tidak bisa melalui pendekatan yang bersifat letere, tekstual dan formal. Sementara istilah akidah itu sendiri di zaman Rasulullah belum muncul sebagai elemen ushuliyah sebagaimana yang kita fahami saat ini. Justru muncul pembagian akademis, dalam ilmu-ilmu Islam, ketika engetahuan dan pengajaran Islam mulai disusun secara sistematis oleh generasi Mujatihdin, Muhadditsin, Mufassirin, dan Mutakallimin.
Banyak ummat Islam terjebak oleh jargon “Kembali pada sumber Al-Qur’an dan As-Sunnah”, dengan cara-cara yang dangkal dan bahkan malah menyesatkan. Misalnya dengan menegaskan segala hal yang tidak tertera secara eksplisit dalam kedua sumber tersebut dianggap menyesatkan. Kemudian mereka bersikeras mengikuti jejak Nabi secara ketat dengan formalitasnya belaka, sedangkan aspek kedalaman jiwa (ruh)nya hilang sama sekali, sehingga Islam tampak kaku, keras, dan radikal.
Padahal dalam amaliyah Islam Rasulullah saw, membagi tiga: Islam, Iman dan Ihsan. Islam yang kelak berhubungan dengan ibadah syari’ah, penataan aturan-aturan fiqih, dalam rangka menata kehidupan lahiriyah. Lalu disana muncul para fuqoha’, yang menyimpulkan produk hokum Islam melalui Ijtihad. Bahkan untuk membuka pintu Ijtihad ini pun para Ulama sangat ketat aturannya, agar tidak semua orang menafsirkan Al-Qur’an dan as-Sunnah dengan klaim-klaim yang gampangan. Kita bisa bayangkan jika para Mjtahid tidak membuat aturan ketat mengenai syarat Ijtihad, pasti konflik-konflik social akibat perbedaan Ijtihad begitu luar biasa dan malah menghancurkan ummat Islam itu sendiri.
Sedangkan Iman, kelak berpengaruh dalam academia teologi yang popular dengan Ilmu Tauhid. Di kalangan ahli Tauhid sendiri soal-soal yang Sifat dan Asma Allah banyak pandangan yang berbeda. Tetapi perbedaan itu sebatas masalah-masalah yang berkembang yang berinduk pada ushuliyahnya.
Misalnya Allah Maha Esa. Dalam Al-Qur’an Allah menggunakan kata Yang Satu, dengan kata yang berbeda-beda. Misalnya Ahad, Wahdat, Wahdaniyah, Wahid, yang memiliki hubungan yang berbeda-beda. Bahwa Allah Maha Esa itu tidak satu pun yang berbeda pandangan. Namun mengenai interaksi Ahad, Wahdah, Wahid, dengan praktek Tauhid maupun filosufi Ketauhidan akan muncul banyak ragam.
Rupanya kaum formalis yang menolak Tasawuf dengan serampangan saja meng genalisir fakta keragaman kata dalam Al-Qur’an maupun Sunnah, lalu mengklaim apa yang dipandangnya itu sebagai kebenaran mutlak yang tak terbantah sama sekali.
Ihsan, sebagai praktek dan manifestasi Islam dan Iman dalam kualitas hubungan hamba dengan Allah, sama sekali tidak pernah dibedah secara tuntas oleh mereka yang anti terhadap dunia Sufi. Sebab, hanya akademi Sufisme saja yang menguraikan secara gambling apa dan bagaimana Ihsan itu diterapkan dalam Ubudiyah sehari-hari. Karena tanpa pelaksanaan Ihsan, seorang hamba yang melakukan ibadah sholat hanyalah melaksanakan kewajiban formalnya sholat, sesuai dengan syarat dan rukunnya. Sedangkan kualitas khusyu’ dalam sholat, elemen-elemen kekhusyu’an, maupun nuansa khusyu di depan Allah tidak dikaji tuntas, kecuali dengan mengetengahkan teknik-teknik khusyu’ yang kering.
Apakah jika dunia Sufi membahas masalah khusyu’ dalam sholat maupun di luar sholat menjadi bid’ah dan bertentang dengan Qur’an dan Sunnah? Alangkah bodohnya kita, jika menuduhkajian dunia Sufi sebagai bentuk yang menyimpang dari kedua sumber utama Islam itu. Justru dunia Sufi mendorong seseorang untuk meraih khusyu’ yang hakiki, bukan khusyu’ yang dikhusyu’-khusyu’kan, sementara ia telah gagal meraih sholat Khusyu’.
Seluruh ajaran Sufi, walaupun sebagian kecil yang minor kita jumpai telah menyimpang dari ajaran Sufi yang benar – sesungguhnya tetap bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah. Para Sufi sendiri sepakat demikian, dan sebaliknya yang jauh dari Al-Qur’an dan Sunnah malah dianggap bathil. Hanya saja criteria mengenai sesuatu yang menyimpang dan tidak dari Al-Qur’an dan sunnah, maka dunia Sufi lebih dalam lagi dan sulit difahami mereka yang hanya mendang Al-Qur’an dan Sunnah secara formal belaka.
Sementara itu tudingan terhadap Ibnu Araby, al-Bisthamy, Junaid al-Baghdady, Al-Hallaj, Syekh Abdul Qadir al-Jilany, maupun Sufi-sufi besar lainnya, semata karena cara meandang Al-Qur’an dan Sunnah secara berbeda. Perbedaannya ibarat kita memandang cermin. Ada cermin itu buram, ada yang retak dan pecah, ada pula yang bercermin dari samping dan dari balik cermin, tentu semua itu akan gagal memantulkan gambar yang obyektif. Dunia Sufi dengan se gala ragam metodenya, mengajak kita menandang cermin dari arah yang benar dan dengan obyek yang utuh, bahkan berusaha agar cermin tetap bening, bersih dan cemerlang.
Bersambung…

Akidah Sufi dituduh Menyimpang dari Al Qur’an dan Sunnah

Redaksi Sufi menurunkan pledoinya atas kontroversi yang selama ini dituduhkan oleh para pemikir Muslim yang anti Tasawuf. Sejak zaman munculnya dunia Sufi dalam peradaban ilmu pengetahuan banyak kalangan yang menuding Tasawuf sebagai aktivitas yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Termasuk para pemikir dewasa ini, khususnya Abdurrahman Abdul Khaliq dalam bukunya Al-Fikrus Shufi, yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul, “Penyimpangan-Penyimpangan Tasawuf.” Buku ini tersebut sangat mendeskriditkan Tasawuf degan penuh emosional dan antipati, dan berpengaruh terhadap gerakan Islam radikal di berbagai negara Islam termasuk di Indonesia.
Karena itu Redaksi Sufi berusaha meluruskan tuduhan-tuduhan hipokrit tersebut dengan mengangkat kembali fakta, idea, akidah dan syari’ah yang sesungguhnya. Sehigga pemahaman yang dangkal itu berbuntut menjadi tuduhan yang sangat arogan dan membahayakan akidah mereka sendiri.
Di bawah ini akan kita muat secara bersambung hal-hal yang dipersoalkan oleh mereka, sehingga mereka anti tasawuf. Dan Redaksi Cahaya Sufi menurunkan jawaban-jawabannya:
Akidah Sufistik
Dalam bentuknya yang terakhir akidah tasawuf berbeda dengan Al-Qr’an dan Sunnah dari seluruh sisinya, disebabkan oleh sumber dan penerimaan akidah itu, yakni sumber pengetahuan keagamaan. Dalam Islam akidah ditetapkan hanya Al-Qur’an dan Sunnah, tetapi dalma tasawuf akidah ditetapkan melalui Ilham, wahyu yang dipercaya oleh para Wali. Hal ini berhubungan dengan Jin yang mereka namanakan dengan makhluk ruhani, atau mi’rajnya ruh ke langit. Lebur dalam Allah dan Injila’ (berkilauannya) cermin hati. Sehingga menurut pengakuan mereka, perkara ghaib tampak seluruhnya bagi wali Sufi melalui kasyf dan mengikatkan hati dengan Rasulullah SAW, karena dalam kepercayaan mereka ilmu-ilmu itu disandarkan pada Rasulullah atau dengan bertemu dengan Rasulullah dalam keadaan terjaga atau mimpi.
Ketika sumber-sumber itu terbilang banyaknya maka akidah itu sendiri berkembang, berubah-ubah, satu sama lainnya berbeda. Masing-masing menyatakan apa yang didapat dalam Kasyfnya, apa yang tertangkap dalam benaknya, apa yang dikatakan Rasulullah, atau diberikan malaikat atau yang ia lihat sendiri di Lauhul Mahfudz.
Mengenai Al-Qur’an dan Sunnah para Sufi memiliki penafsuran kebatinan yang terkadang mereka menamakannya tafsir Isyarat. Mereka percaya bahwa setiap huruf dalam Al-Qur’an memiliki makna yang tidak diketahui kecuali oleh Sufi yang mumpuni dan terbuka hatinya. Berdasarkan hal ini para Sufi memiliki keberagaman sendiri yang dalam tataran ushul dan cabangnya berbeda dari agama yang dibawa oleh Rasulullah.
Berikut ini ringkasan akidah sufi tentang Allah, Rasulullah, Para Wali, Syurga, Neraka, Fir’aun, dan Iblis. Begitu juga keyakinan tentang berbagai syariat.
Akidah mereka tentang Allah
Seorang Sufi meyakini Allah dengan akidahnya yang beraneka ragam. Diantaranya adalah Hulul (reingkarnasi) seperti mazhabnya Al-Hallaj dan juga Wihdatul Wujud yang mengajarkan ketidakterpisahan antara Khaliq dengan makhluk. Inilah akidah terakhir yang berkembang sejak abad ke III hingga kini. Akhirnya setiap tokoh dan Ulama akidah ini, mencatatnya dalam kitab, seperti Ibnu ‘Araby, Ibnu Sab’in, Al-Tilmasy, Abdul Karim al-Jily, Abdul Ghani an-Nablusy dan juga mayoritas pimpinan Thariqat Sufi kontemporer.
Akidah mereka tentang Rasulullah
Diantara mereka yang meyakini bahwa Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi. Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi sebagaimana diutarakan oleh Busthamy, “Kami menyelami lautan yang para Nabi berhenti di pantainya.” Diantara mereka juga ada yang meyakini bahwa Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Dialah Allah yang bersemayam di Atas Arasy. Langit, bumi, ‘Arasy, Kursy, dan seluruh yang ada diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama maujud. Dialah yang bersemayam di atas Arasy Allah. Demikianlah akidah Ibnu Araby dan Sufi sesudahnya.
Akidah mereka tentang para Wali’
Kaum Sufi meyakini wali dengan beragam akidah pula. Diantara mereka ada yang mengutamakan wali daripada Nabi. Pada umumnya mereka menyamakan wali dengan Allah dalam setiap Sifatnya. Allah menciptakan, Menghidupkan, Mematikan, dan Berkuasa atas alam ini. Mereka dalam hal ini membagi golongan wali. Mereka adalah Ghauts yang memegang hukum alam ini, empat aqthab yang yang menguasai empat tiang alam ini dengan perintah ghauts, tujuh abdal, yang masing-masing mengatur satu dari tujuh benua dengan perintah ghauts, dan Nujaba’ yang meyebatr di setiap penjuru untuk mengatur ketentuan-ketentuan makhluk. Mereka juga memiliki dewan, majlis berkumpul di gua hira’ untuk menunggu takdir-takdir. Singkatnya para wali itu ‘alim, keramat, dan sempurna.
Pastinya, konsep demikian berbeda dengan konsep kewalian dalam Islam, yang berdasar pada kebragaman, ketaqwaan, amal shaleh, ibadah yang sempurna kepada Allah, dan sikap fakir atau butuh kepada Allah. Seorang Sufi tidak berkuasa sedikit pun terhadap dirinya sendiri terlebih terhadap orang lain. Firman Allah: “Katakanlah ‘Kami tidak berkuasa mendatangkan suatu kemudaratan kepadamu, juga tidak suatu kemanfaatan.’ (al-Jin 21).
Akidah mereka tentang Syurga dan Neraka
Seluruh Sufi meyakini bahwa mencari syurga adalah upaya yang banyak mengurangi kesempurnaan. Seorang Wali tidak boleh berusaha menuju dan mencari syurga. Sufi yang mencari syurga berarti kurang sempurna. Yang mereka cari hanyalah cinta, ketidakberdayaan di haribaan Allah, membuka tabir keghaiban dan berkuasa atas alam ini. Itulah syurga yag diyakini para Sufi.
Mereka juga meyakini bahwa menjauhi neraka tidak selayaknya dilakukan oleh Sufi yang sempurna. Karena rasa takut akan neraka akan seorang budak. Neraka bagi mereka tidak panas. Bahkan diantara Sufi ada yang bersombong diri, bahwa seandainya ia meludah di neraka, maka akan memadamkannya seperti yang dikatakan al-Busthamy. Adapun Sufi yang berakidah Wihdatul Wujud, diantara mereka ada yang berkeyakinan bahwa neraka bagi yang memasukinya itu nyaman dan nikmat, tidak kurang dari kenikmatan orang yang masuk syurga. Itulah akidah Ibnu Araby, seperti yang ia nyatakan dalam Fushusul Hikam.
Akidah mereka tentang Fir’aun dan Iblis Kebanyakan Sufi meyakini bahwa Iblis adalah hamba paling sempurna dan makhluk terbaik dalam hal akidah, karena mereka mempercayai Iblis, tidak bersujud kecuali kepada Allah. Begitu juga Fir’aun bagi mereka adalah orang yang paling baik Tauhidnya. Karena ia pernah berkata, “Akulah Tuhanmu yang tertinggi.” Disini Fir’aun mengetahui hakikat, karena setiap yang maujud itu adalah Allah. Dalam kepercayaan mereka, Fir’aun termasuk orang yang beriman dan masuk syurga.
Demikian tudingan mereka terhadap kaum Sufi. Dan di bawah ini adalah jawaban atas kesalahpahaman mereka, baik dari segi pemahaman terhadap wacana Sufi, maupun pendekatan pemahamannya, bahkan terhadap substansi penafsiran Al-Qur’an dan Sunnah.
Bersambung…

Nikmatnya Celaan

Ingin saya menulis tentang kehidupan beberapa tokoh sufi yang kaya raya sebagai kelanjutan dari Dunia Sufi Yang Misteri (Bagian 2), namun malam ini, malam jum’at yang penuh rahmat hati saya tergerak untuk menulis tentang hal lain, tentang sebuah Maqam yang harus dilewati oleh para penempuh jalan kebenaran, maqam yang tidak meng-enakkan yaitu Maqam Celaan. Jarang sekali ada pembahasan tentang maqam celaan walaupun hampir semua kita yang menekuni tarekat, berguru, pernah mengalami hal seperti itu. Saya menemukan ulasan lengkap tentang maqam celaan dalam sebuah kitab Tasawuf Klasik yang berjudul Kasyful Mahjub karya Al-Hujwiri.
Untuk lebih mudah memahami saya akan mengajukan pertanyaan kepada anda, “Pernahkah anda dihina orang? Dicela atau dilecehkan orang?” Jawabannya tentu saja ada. Pengalaman orang yang berguru, menekuni tarekat lebih khusus lagi, tiba-tiba saja tanpa sebab setelah berguru orang yang selama ini menjadi teman kemudian menjauhi anda, bahkan orang tua yang anda hormati jadi ikut membenci anda. Ketika orang tua anda mengetahui anda telah berguru kepada Wali Allah apakah mereka langsung setuju? Jawabannya hampir semua orang tua tidak setuju dengan sebab atau tanpa sebab kecuali orang tua anda benar-benar paham tentang tasawuf/tarekat.
Ditambah lagi orang-orang sekitar anda sangat tidak senang dengan Tarekat, maka semakin bertambah-tambah hinaan dan cacian yang anda terima. Ada yang bisa melewati itu semua dengan tabah dan bisa mengambil hikmah dari kejadian yang menimpanya namun tidak mereka berputus asa menganggap menekuni tarekat membuat hidup jadi susah kemudian mengambil keputusan untuk tidak lagi berguru.
Pernahkah anda merenung kenapa anda dikucilkan dan dianggap aneh dan tidak hanya anda sayapun mengalami hal yang sama. Memang harus di akui ada faktor lain yang ikut menyuburkan kebencian dan ketidaksenangan orang terhadap Tarekat seperti tingkah laku pengamal tarekat sendiri yang terkesan eksklusif, tidak mau bergaul dengan lingkungan, tidak menjaga syariat dan lain-lain. Terlepas dari itu semua, saya juga melihat orang-orang yang bertingkah laku baik dan orang juga tidak tahu kalau dia pengamal tarekat namun anehnya orang tetap saja tidak senang. Setelah saya merenung dalam dalam akhirnya saya menemukan jawabannya dan saya uraikan secara singkat dalam empat point berikut ini :
Pertama, Kalau anda sebagai pengamal tarekat sebagai inti dari ajaran Islam dianggap aneh dan asing di zaman ini itu hal yang wajar karena telah terlebih dahulu Nabi mengingatkan dalam hadistnya :
“Permulaan Islam ini asing, dan akan kembali asing pula, maka gembiralah orang-orang yang dianggap asing”. (HR Muslim dari Abu Hurairah).
Kalau ada golongan lain yang merasa lebih “Islam” dari anda itupun wajar karena biasanya yang merasa itu berarti tidak memilikinya 
Kedua, anda menemukan mutiara yang dicari oleh seluruh dunia yaitu bertemu dengan Kekasih Allah. Kakasih Allah ibarat pengantin yang disembunyikan oleh Allah dan hanya diperkenalkan kepada orang-orang yang telah ditakdirkan oleh-Nya. Anda harus mensyukuri nikmat dan karunia yang luar biasa ini. Banyak cara Allah untuk menyembunyikan kekasih-Nya, salah satunya manusia terhijab oleh kekurangan yang nampak pada diri seorang wali sebagaimana juga musuh musuh Islam melihat kekurangan yang Nampak pada diri Nabi. Kalau ada orang mengatakan Guru anda sesat, itu juga wajar karena dia melihat Guru anda dibalik hijab yang dibuat oleh Allah.
Anda begitu yakin Nabi Muhammad adalah seorang mulia dan dimuliakan Allah, apakah musuh-musuh Islam dari dulu beranggapan yang sama? Apakah Abu Lahab dan Abu Jahal menilai Nabi seperti anda menilai? Apakah orang yang menggambar karikatur Nabi dengan penuh kebencian melhat Nabi dengan kemulyaan? Tentu saja TIDAK, mereka melihat nabi dibalik hijab.
Rasulullah SAW, yang menjadi teladan dan pemimpin orang-orang yang mengikut jalan kebenaran, dan yang mengunguli derajat pecinta pecinta Tuhan, Kemulyaan Beliau diakui dan kebenaran Beliau menerima wahyu dari Allah tidak diragukan sedikitpun. Namun dalam pandangan orang yang tidak senang, Belau dituduh dengan berbagai macam tuduhan, “Orang yang suka mengada-ada”, “penyair” bahkan Beliau dituduh Gila dan pendusta.
Orang-orang beriman yang mengalami celaan dilukiskan dalam firman Allah :
“Mereka tidak takut celaan seseorang, itulah rahmat Tuhan yang Dia anugerahkan kepada siapapun yang Dia kehendaki, Tuhan Maha Pemurah lagi Maha bijaksana” (QS 5:59).
Ketiga, Coba anda bayangkan disebuah desa ada seorang gadis paling cantik dan anda termasuk penduduk desa tersebut. Gadis itu diperebutkan oleh banyak laki-laki dan anda termasuk salah seorang yang berusaha mengambil hati. Bisa anda bayangkan bagaimana susahnya anda merebut hati si gadis diantara puluhan pesaing. Kemudian bayangkan juga anda berada disebuah kota dan dikota tersebut ada seorang gadis paling cantik, primadona kota dan seluruh pemuda di kota tersebut berlomba-lomba merebut hati sang gadis.
Bisa anda bayangkan pengorbanan harta, pikiran dan tenaga untuk bisa mendapatkan gadis pujaan anda, bisa jadi anda ditolak dan mengalami sakit hati. Sekarang bayangkan yang ingin anda rebut cinta adalah dari Sang Maha Cinta yang diperebutkan oleh Manusia seluruh alam ini, ada 5 milyar saingan anda untuk memperoleh perhatian dan cinta Dia Yang Maha Esa. Sekarang coba anda bayangkan pengorbanan apa yang harus anda berikan agar bisa mendapatkan cinta dari Sang Maha Cinta tersebut?. Apakah harta anda cukup untuk bisa mendekati Dia? Apakah pikiran anda cukup untuk dikorbankan kepada-Nya dan apakah perasaan anda siap untuk kecewa dan sakit hati untuk mencapai Cinta-Nya? Saya tidak melanjutkan uraian ini dan saya yakin ada menemukan jawabannya. Yang diminta dari anda oleh Sang Kekasih adalah sedikit kesabaran dalam menggapai cinta tersebut, pantaskah anda berkeluh kesah?
Ke empat, Orang yang masuk tarekat pada hakikatnya adalah memulai hidup baru dalam Taubat kepada-Nya, melangkahkan kaki setahap demi setahap menuju kehadirat Allah. Anda, saya dan semua kita di dalam hati ini bersemayam Jin, setan yang sejak lahir (buka surat An Naas) telah menemani kita siang dan malam selama 24 jam sampai kita mengucapkan kata perpisahan dengan mereka ketika kita menyatakan diri menjadi murid seorang kekasih Allah. Setan dan dalam diri anda itu kemudian keluar dari tubuh anda, keluar dengan nada kesal dan kecewa. Lalu rasa kecewa tersebut kemudian dia masuk ke tubuh sahabat anda, tetangga anda atau bisa jadi orang tua anda sendiri, lewat mereka para jin/setan tersebut dengan bebas mencaci maki anda sebagai orang yang telah meninggakan mereka. Lalu kenapa anda jadi marah kalau dicaci oleh tetangga yang pada hakikatnya adalah telah di masuki oleh “diri anda”, sekutu yang sejak lahir menemami anda. Kalau ada yang mencaci anda karena anda mengamalkan tarekat, dalam hati ucapkan, “wahai kawan lama, maaf, aku tak bisa bersamamu lagi, sekarang aku sudah jadi murid Wali” he he.
Memegang kebenaran itu ibarat memegang bara api, kalau digenggam tangan akan terbakar kalau dilepas maka bara itu akan terlepas dan hilang. Guru memberikan rahasia kepada saya, “Pegang kuat-kuat bara itu dan nanti bara itu akan padam ditanganmu dan kamu harus punya prinsip tangan yang terbakar atau bara api yang padam dan jangan pernah kau melapaskan bara tersebut”. Ditempat lain Guru juga memberikan gambaran bahwa seorang penempuh jalan kebenaran persis seperti orang yang berada diantara buaya dan dinding terjal. Di depan ada dinding terjal sementara dibelakang ada buaya. Kalau mundur akan mati dimakan buaya sementara kalau maju harus melewati dinding yang terjal dan sangat sulit. Guru memberikan rahasia, “Kalau Aku akan terus maju walau harus merangkak”.
Seorang teman seperguruan bertanya kepada saya, “Menurut anda apakah Guru kita termasuk orang yang benar?”. Saya jawab, “Pertanyaan itu ketika tahun pertama berguru saya masih bisa menjawabnya, tapi sekarang setelah belasan tahun saya berguru pertanyaan tersebut tidak bisa lagi terjawab”. Dengan penasaran dia bertanya lagi, “kenapa bisa begitu?”. Saya jawab, “Bertahun-tahun saya mencari Wali Allah, begitu banyak saya menjumpai Guru yang mengaku Wali Allah dan dan hampir saja saya putus asa karena tidak menemukan orang yang benar-benar Wali Allah dan saya pikir tidak mungkin orang seperti saya bisa berjumpa dengan seorang Wali Allah. Setelah berguru awalnya timbul keraguan dalam hati, dan saya membuka Al Qur’an dan Hadist untuk mencari kebenaran dari apa yang disampaikan Guru. Bukan hanya itu saya juga mempelahari  ucapan-ucapan ulama, kitab-kita tentang Tauhid dan tasawuf untuk Menelusuri kebenaran yang di ajarkan oleh Guru. Setelah setahun saya mengambil kesimpulan bahwa Guru kita benar-benar seorang Wali Allah, Ulama Pewaris Nabi dan Beliau benar Khalifah Rasulullah yang menegakkan Agama ini yang kebenarannya tidak diragukan lagi.” Kemudian saya melanjutkan, “Kalau anda saudaraku hari ini bertanya tentang kebenaran Guru kita, saya tidak bisa menjawabnya karena bagi saya saat ini berguru bukan karena benar dan salah tapi karena kecintaan saya kepada Beliau sebagai seoranng pengemban amanah Allah. Andai seluruh dunia ini mengatakan Guru kita salah atau sesat dan siapapun jadi murid Beliau dikatakan masuk Neraka, saya tidak peduli dan saya akan tetap menjadi murid Beliau”. Kemudian saya melanjutkan, “Saudaraku, Kebenaran mutlak itu hanya ada pada Allah dan Guru kita telah mengantarkan saya kepada Allah, Sang Kebenaran Mutlak, jadi untuk apa saya harus mendengarkan kebenaran versi manusia yang sangat besar kemungkinan salahnya?
Siapapun anda wahai saudaraku, apakah kita satu Guru atau berbeda Guru, saya memberikan nasehat kepada anda, siapapun Guru anda, hormati Beliau sayangi Beliau dan teruslah melanjutkan Berguru karena sesungguhnya bersama Kekasih Allah itu adalah sebesar-besarnya rahmat dan karunia dan sesungguhnya Guru Mursyid itu adalah pintu yang langsung menuju kehadirat Allah SWT.
Walaupun pandangan orang negatif terhadap anda, digolongkan anda kapada pengikut aliran sesat, dituduh sebagai pembuat bid’ah bahkan orang mengatakan anda kafir jangan membuat pribadi anda berubah menjadi pribadi pendendam, pribadi yang putus asa dan kemudian malah bertingkah laku aneh sesuka hati. “ah saya sudah terlanjur dianggap sesat, mendingan buat yang aneh-aneh sekalian”. Kemulyaan dan ketinggian derajat seseorang tidak tergantung dari penilaian orang, manusia itu bersifat baharu dan penilaiannya pun akan berubah termasuk penilaiaan terhadap anda. Jadilah pribadi yang mulia karena anda mengemban amanah yang mulia, dalam diri anda telah tertanam Nur Allah dan kemanapun anda melangkah Allah dan seluruh alam ini akan ridho kepada anda. Jadilah pribadi yang ketika orang melihat dan menilai anda maka orang akan mengatakan, “orang ini benar dan Gurunya juga benar”.
Bersyukurlah karena masih ada orang yang menghina anda, karena yang paling berbahaya justru ketika anda dipuji karena pujian sering kali membuat orang lalai dan lupa dan kemudian tanpa sadar menjadi sombong dan angkuh sementara dua sikap itu yang paling tidak disenangi oleh Tuhan dan sikap itu membuat anda jauh dari Tuhan. Hinaan manusia akan membuat cinta anda kepada Tuhan semakin menggelora dan hati anda selalu terjaga untuk selalu mengingat dan membesarkan nama-Nya. Ketika semua orang mencaci dan menghina orang maka anda hanya memikirkan satu saja, semain fokus pada satu tujuan yaitu Allah SWT. Yakinlah bahwa Orang-orang yang menghina anda itu sengaja diciptakan oleh Tuhan sebagai lawan tanding agar anda bersungguh-sungguh dan bersemangat dalam menggapai cintai-Nya. Suatu saat nanti anda akan menangis dan selalu bersyukur karena anda dihina orang dan hal itu hanya bisa terjadi ketika anda benar-benar bisa memaknai Nikmatnya Celaan. Salam

Seputar Akidah Sufi Terhadap Rasulullah

Diantara persoalan yang digugat oleh mereka yang anti Tasawuf adalah mengenai akidah kaum Sufi terhadap Rasulullah SAW. Mereka menuduh kaum Sufi bahwa, kaum Sufi berpandangan kalau Rasulullah tidak mencapai martabat dan kondisi para Sufi.
Rasulullah tidak mengetahui ilmu-ilmu para Sufi, sebagaimana ungkapan Abu Yazid al-Busthamy, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”.
Bahkan Muhammad adalah puncak jagad semesta ini. Arasy, Kursy, Qolam, langit dan bumi diciptakan dari Cahaya Muhammad. Dan Muhammadlah yang pertama Maujud, dan dialah yang bersemayam di Arasy.
JAWABAN
Kenapa mereka yang kontra terhadap dunia Sufi sebegitu dangkal memahami metafor-metafor yang menjadi bahasa khas para Sufi? Sebegitu dangkalkah mereka memahami Al-Qur’an sehingga memiliki tuduhan terhadam kaum Sufi sebagai kelompok yang berpandangan sesat?
Para Sufi sama sekali tidak pernah berpandangan bahwa Rasulullah SAW. tidak mencapai martabat Sufi. Justru sebaliknya Rasulullah adalah tipe ideal Insan Kamil, sebagai puncak paripurna yang tak tertandingi dalam dunia Sufi. Rasulullah adalah teladan utama para Sufi. Rasulullah SAW, adalah panutan secara syari’at maupun hakikat dari para penempuh jalan Sufi. Rasulullah adalah par-exellent yang justru membimbing jiwa-jiwa yang rindu kepada Allah, dan kerinduan kepada Allah secara hakiki hanya dialami oleh para penempuh itu.
Coba jika mereka mau mencoba memahami karya Ibnu Araby maupun Al-Jily yang selama ini mereka tuduh sebagai biangkerok penyimpangan akidah. Mereka tidak memahami bahasa-bahasa hakikat dalam tradisi ilmu Tasawuf, yang mereka gunakan hanyalah akal rasional. Sedangkan wilayah akal rasional itu, tidak mampu menyentuh dunia batin, dunia ruh, dunia Rahasia Ilahi. Obyek rasional hanyalah teori, logika dan aksioma, dan terbukti gagal untuk Ma’rifatullah. Apakah mereka akan terus menerus berkubang dalam Lumpur tipudaya imajiner mereka?
Salah satu contoh betapa mereka dangkal memahami metafora dunia Sufi adalah cara mereka menilai Abu Yazid Al-Bisthamy. Kata-kata Abu Yazid itu bukan sama sekali menunjukkan bahwa Abu Yazid lebih unggul dari para Nabi dan Rasul. Coba renungkan dengan jiwa yang suci, kata-katanya, “Kami menyelami Lautan yang para Nabi sudah berhenti di pantainya…”. Kata-kata ini menunjukkan bahwa para Nabi dan Rasul sudah tuntas menyelami Lautan Ilahi. Nabi dan Rasul sudah sampai ke benuanya, sedangkan Abu Yazid masih mengarunginya.
Abu Yazid sedang mengarungi Lautan demi Lautan Ilahi, Lautan Malakut, Lautan Jabarut dan Lautan Lahut. Bahkan Tujuh Lautan Ilahi yang sedang diarunginya. Para Nabi dan Rasul sudah selesai, sudah sampai ke pantai benuanya, turut memberi syafaat dan mendoakan Abu Yazid dan yang lainnya.
Mengenai Nur Muhammad dan Muhammad sebagai awal wujud, memang benar. Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul di dunia, yang lahir dalam waktu dan ruang sejarah, tahun tertentu, dan dengan peristiwa historis tertentu, tentu berbeda dengan nama Muhammad yang menjadi awal maujud ini.
Mereka yang kontra dengan dunia Sufi memang tidak memahami apakah sesungguhnya hakikat Nur (Cahaya) itu sendiri. Berapa lapiskah Cahaya Ilahi itu, dan apa bedanya Nurullah dengan Nur Muhammad, apa pula bedanya dengan Nurun alan-Nuur, yang ada di Al-Qur’an itu. Justru para Ulama Sufilah yang bisa menafsirkan secara universal dan tuntas mengenai ayat Cahaya dalam Al-Qur’an itu.
Belum lagi makna dari Kegelapan (Dzulumat), bagaimana wujud dzulumat, apa pula lapisan dzulumat, fakta dzulumat, rekayasa dzulumat dan bagaimana strategi Iblis dan Syetan muncul dari wahana dzulumat?
Dalam hadits disebutkan, “Pertama kali diciptakan adalah An-Nuur”, dan hadits lain menyebutkan, “Awal yang diciptakan Allah adalah al-Qolam…” serta hadits lain berbunyi, “Awal yang diciptakan Allah adalah akal…”
Tiga hadits itu sesungguhnya sama sekali tidak bertentangan. Kalau mereka mau mempelajari Ushul Fiqh saja, akan tahu bagaimana sistematika istimbath manakala ada hadits satu sama lain yang terkesan kontradiktif. Maka ada jalan keluar untuk menyimpulkan secara al-Jam’u (kompromi) atau bersifat nasikh dan mansukh. Tetai hadits tersebut cukup difahami dengan penggunaan metode al-Jam’u, yaitu dengan memahami bahwa Nur, Qolam, Akal, adalah “satu kesatuan dalam keragaman”.
Karena satu kesatuan, Nur, Qolam dan Akal merupakan tiga dimensi yang saling berkelindan, baik secara eksistensial maupun fungsional. Artinya Nur adalah esensi dari akal, dan Akal adalah esensi dari Qolam. Nur adalah rahasia Akal, dan Akal adalah rahasia Qolam, dan Qolam adalah awal ayang membuat Titik dari huruf Nun dalam Kun itu.
Nabi Muhammad SAW dalam hal ini adalah Wujud Paripurna secara ruhani dari seluruh alam semesta, karena itu jika disebutkan dalam ayat Ar-Rahmaanu ‘alal Arsyi Istawa (Yang Maha Rahman bersemayam di Arasy) maka, hakikat Ar-Rahman secara makrokosmos adalah jiwa Muhammad, dan Muhammad adalah penyempurna Ar-Rahman yang termaujud dalam Ar-Rahim. Karena itu dalam Surat At-Taubah, dua ayat terakhir, menyebutkan sifat Nabi Muhammad adalah Ro’ufur Rohiim.
Maka, dengan akal yang dangkal dan pikiran rasional, manusia sering memaksa diri untuk memahami hal-hal yang metafisis, akhirnya malah gagal, lalu berujung menjadi sikap apriori terhadap dunia alam bathiniyah, yang menjadi wilayah hamparan pertumbuhan Cahaya Iman kita. Wallahu A’lam

Tasawuf Ilmu Teknologi Al-Qur’an

Tasawuf merupakan ilmu halus yang sangat tinggi dan tidak bisa dengan mudah dipelajari. Tasawuf bukan ilmu hapalan yang dipelajari dengan otak akan tetapi merupakan ilmu praktek dan merupakan teknologi Al-Qur’an yang Maha Dahsyat. Hasil pengamalan tasawuf akan melahirkan manusia-manusia berkualitas tinggi, tidak pernah lepas sedetikpun hubungan dengan Allah sebagai sumber kebaikan. Salah satu tujuan Allah mengutus para nabi adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Para nabi bukan sekedar menyampaikan firman Allah, akan tetapi juga berfungsi sebagai pembawa wasilah (wasilah carrier) sebagai media penyambung antara manusia dengan Tuhan. Nabi adalah teknolog Al Qur’an yang mengerti bagaimana menyalurkan power maha dahsyat menjadi sesuatu yang bisa bermanfaat untuk manusia. Kemampuan nabi Musa membelah laut, kehebatan Nabi Isa menghidupkan orang mati dan menyembuhkan segala jenis penyakit dan kehebatan Nabi Muhammad SAW membelah bulan bukan terjadi dengan serta merta. Mereka diajarkan oleh Allah teknologi Maha Dahsyat, teknologi metafisika dan siapapun menggunakan teknologi yang sama maka hasilnya pasti akan sama.
Kalau kita perhatikan bagaimana hebatnya teknologi fisika. Air yang tenang bisa diubah menjadi listrik lewat teknologi turbin. Air dipanaskan menjadi uap mampu menggerakkan gerbong kereta api yang beratnya ratusan ton. Air juga bisa mendongkrak mobil yang dengan memakai ujung jari tentu saja lewat teknologi hidrolika. Air juga apabila di pisahkan inti atomnya akan terjadi ledakan sangat hebat, menjadi  sebuah bom yang daya rusaknya luar biasa. Air sifat dasarnya memadamkan api bisa berubah menjadi bahan bakar yang hebat. Masih banyak teknologi lain yang hebat hasil penemuan manusia.
Berbicara tentang teknologi al-Qur’an, alam metafisika tentu hasilnya berpuluh, beratus bahkan berjuta kali lebih hebat dari teknologi fisika. Sampai saat ini belum ada teknologi yang mampu membelah laut seperti yang dilakukan oleh nabi Musa atau menghidupkan orang mati. Teknologi fisika akan selalu tertinggal jauh oleh teknologi metafisika.
Menyadari potensi yang sangat hebat terkandung dalam al-Qur’an maka para kaum orientalis berusaha memisahkan ummat Islam dengan teknologi Al-Qur’an. Al-Qur’an hanya untuk di baca dan dilombakan, dialun-alunkan dengan suara merdu. Ilmu untuk mengeluarkan power Al-qur’an itu tidak lain adalah Tarekatullah dibawah bimbingan Mursyid Kamil Mukamil, yang ahli di bidangnya, ahli tentang teknologi Al Qur’an.
Kalau Mursyidnya tidak ahli dan tidak mendapat izin dari guru-guru sebelumnya, tidak mempunyai silsilah bersambung kepada Rasulullah SAW maka Tarekat hanyalah sebuah praktek zikir kosong tanpa power. Sudah sekian lama tarekat dikucilkan, tasawuf didebatkan terus menerus bahkan dengan tanpa rasa bersalah memasukkan tasawuf sebagai ajaran di luar Islam, sungguh sangat menyedihkan.
Sangat berbahaya mendalami tarekat kalau Gurunya tidak mendapat izin dari Allah. Ibarat pilot pesawat tanpa izin terbang dan tidak mempunyai sama sekali pengalaman terbang tentu sangat berbahaya, bukan rahmat kita dapat tapi malah celaka.
Orientalis dengan sekuat tenaga berusaha agar ummat Islam berpandangan buruk terhadap tasawuf dengan menciptakan tarekat-tarekat palsu. Tarekat palsu tersebut kemudian disebarkan keseluruh dunia dengan tujuan untuk menjelekkan tarekat. Ajaran-ajaran yang menyimpang dari nilai-nilai Al-Qur’an dan hadist sehingga dengan mudah kalangan yang selama ini miring melihat tarekat mendapat angin segar.
Pilihlah Gurumu yang kamil mukamil khalis mukhlisin, yang dicerdikkan Tuhan, tidak setengah kasih akan dunia, kuat berpegang teguh kepada Tali Allah dan tentu saja mempunyai silsilah sebagai tanda sah ilmu yang diajarkannya.
Tasawuf bukan ilmu hapalan, bukan pula ilmu yang dipelajari lewat membaca. Tasawuf adalah ilmu rasa dan rasa itu datang dari Allah SWT atas ikhtiar sungguh2 dari sang murid. Sebagai contoh, kalau hanya sekedar dibaca, letak maqam yang 7 tempat bisa dibaca dalam satu malam bahkan seluruh kaji dalam suluk selesai dipelajari dalam 1 malam. Pertanyaannya apakah bisa “duduk” amalan tersebut dalam satu malam? Jawabannya tidak, membutuhkan waktu bertahun-tahun baru bisa amalan tersebut melekat dalam diri kita. Mungkin kita telah berulang kali suluk, kalau masih ada unsur sombong dalam diri, berarti belum sempurna maqam ke-5, begitu juga kalau masih suka memperturutkan hawa nafsu berarti suluk kita masih belum benar. Mungkin banyak tarekat yang menulis tentang amalan dari awal suluk sampai selesai. Tapi Guru saya sangat melarang karena amalan itu datang dulu baru dijelaskan. Sebagai kiasan, seorang anak lahir dulu kedunia baru diberi nama.
Beliau mengatakan biarlah amalan berupa karunia dari Allah datang dengan sendirinya. Lebih baik karunia itu datang tanpa mengetahui namanya dari pada menghapal nama tapi tidak pernah merasakan karunia.
Kita wajib berterima kasih kepada  Almarhum Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc Mursyid Tarekat Naqsyabandi atas jasa Beliau yang mampu menjelaskan ilmu tasawuf lewat ilmu eksakta (fisika klasik) sehingga tidak bisa dibantah sama sekali oleh siapapun. Ilmu tarekat selama ini dianggap kolot dan ketinggalan zaman ternyata merupakan ilmu yang sangat hebat tiada tanding menjadi senjata ampuh ummat Islam diseluruh dunia.  Beliau juga yang pertama kali mempopulerkan istilah Teknologi Al-Qur’an. Kalau Imam Al-Ghazali berjasa mendamaikan tasawuf dengan syariat dan menyatukan keduanya lewat ilmu sosial maka Prof. Dr. Kadirun Yahya MA M.Sc berhasil mendamaikan lewat ilmu metafisika eksakta.
Akhirnya, kita semua berharap bisa berjumpa dengan Guru Mursyid Kamil Mukamil Khalis Mukhlisin yang bisa mengajarkan kita tentang Teknologi Al-qur’an sehingga bisa kita salurkan kepada keluarga, kampung, Negara bahkan seluruh jagad raya ini sebagai bukti bahwa Islam Mulia Raya adalah Agama yang membawa Rahmatan Lil Alamin.

Sabtu, 22 Oktober 2011

Kontroversi Ahmad Dhani dan Yahudi


Berbicara tentang sosok Ahmad Dhani, mau tidak mau berbicara pula dengan kontroversi. Ia pernah dituduh menjiplak judul novel “Arjuna Mencari Cinta” untuk judul salah satu lagunya di album Cintailah Cinta. Lagu ini kemudian diubah judulnya menjadi “Arjuna” saja. Ahmad Dhani juga dituduh menghina Allah ketika menampilkan kaligrafi kufi Allah sebagai kover album Laskar Cinta. Lagi-lagi, Dhani mesti mengganti kover album. Dhani juga dipertanyakan keislamannya karena membuat lagi “Satu” yang konon dianggap menyebarkan pesan “Manunggaling Kawula-Gusti”. Belakangan, Ahmad Dhani juga dituduh sebagai agen Yahudi. Benarkah demikian?
Bom Buku 
Bom Buku
Peristiwa bom bunuh diri di Cirebon beberapa waktu lalu, diikuti dengan bom buku yang mengarah ke beberapa titik di Jakarta, kembali mencatut nama Ahmad Dhani. Rumahnya disatroni sebuah buku berkover dirinya dengan judul Yahudi Militan. Ternyata, terdapat bom yang ditanam dalam buku tersebut. Beruntunglah Dhani, buku itu diledakkan sebelum ia membukanya. Namun, dari kejadian ini, muncul pertanyaan, bagaimana mungkin Dhani bisa dikaitkan dengan Yahudi? Jika dirunut lebih jauh, ternyata kebetulan Dhani sering bersinggungan dengan hal-hal berbau Yahudi, sengaja atau tidak.

Dewa 19 Cover 
Kover Album Dewa 19
Dalam beberapa kover album Dewa 19, terdapat berbagai lambang yang konon sangat berbau “Yahudi” meskipun sebuah lambang bisa diartikan berbeda tergantung dari pemakainya. Misalnya, lambang piramida yang tertutup kabut pada album pertama mereka (tidak ada judul). Piramida yang tertutup kabut ini, disebut piramida tak selesai, konon merupakan simbol Yahudi atau Freemasonry (organisasi yang dihubung-hubungkan dengan Yahudi padahal bukan).
Simbol ini sendiri konon berarti perjalanan tahap demi tahap menuju Tatanan Dunia Baru (New World Order) yang diagungkan Freemasonry. Padahal, dalam tradisi sufi, piramida tidak selesai ini berkaitan dengan penyadaran manusia bahwa Allah sudah membuat manusia sebagai sosok yang nyaris sempurna (digambarkan dengan piramida tidak selesai). Kesempurnaan tersebut ditentukan oleh manusia, apakah ia bisa menemukan potongan terakhir piramida (mencintai Allah) atau tidak.

Bintang Lima Dewa 
Kover Album Bintang Lima
Terdapat juga lambang cinta yang mengepakkan sayap dalam album Bintang Lima. Sayap yang serupa ini konon milik penganut ajaran teosofi. Lambang yang sama dipakai sufi untuk mengekspresikan kebebasan cinta dan memberi penyadaran kepada manusia bahwa Allah hanya bisa didekati dengan cinta, bukan dengan ibadah yang penuh kebencian atau dengan fanatisme sempit agama.

Cintailah cinta Dewa 
Kover Album Cintailah Cinta
Dalam kover album Dewa 19 yang lain, Cintailah Cinta, terdapat lambang Mata Horus. Bagi kebanyakan orang yang menyukai teori konspirasi, lambang ini berarti pengawasan penuh Yahudi (dan Freemasonry) atas seluruh manusia. Namun, lambang ini bisa digunakan oleh para sufi untuk menunjukkan bahwa kemana pun kita berpaling, selalu ada wajah Allah yang senantiasa melihat setiap gerak-gerik kita; sehingga kita tidak akan berani melanggar larangan-Nya.

Bagi penggemar teori konspirasi, kover-kover Dewa 19 memang dekat dengan Yahudi. Namun, bagi orang yang berpikiran positif, penggunaan lambang itu bisa diartikan beragam. Mungkin saja lambang tersebut sudah umum dipakai, memiliki nilai jual tinggi, atau memiliki unsur-unsur idealism tertentu, dan seterusnya. Jadi, untuk apa menuduh Ahmad Dhani sebagai agen Yahudi?